Sabtu, 15 September 2012

The Malaysian Insider :: Opinion


Klik GAMBAR Dibawah Untuk Lebih Info
Sumber Asal Berita :-

The Malaysian Insider :: Opinion


Mengurus ‘indie’

Posted: 14 Sep 2012 06:16 PM PDT

15 SEPT — Pasca-2008 bukan saja latar politik berubah, latar seni budaya terutama scene "indie" baik penerbitan, muzik, teater, filem dan penganjuran acara seni turut berubah. Sebelumnya maksud indie bagi saya bebas tafsir bergantung kepada sang pemakna. Namun secara umum indie dalam takrif Malaysia adalah sesuatu yang frinjan atau pinggiran (fringe), alternatif, eksperimental, urban dan apa-apa yang berlawanan dengan arus perdana.

Sebelum 2008 penganjuran acara berbau indie sangat sedikit dan jika ada didominasi muzik dan kekerapannya sekejap ada dan sekejap tidak ada. Dari segi geografi, kebanyakan acara masih berpusat di Kuala Lumpur. Sekadar menyebut beberapa nama acara; Acara Baca Puisi Keliling (Apuke), Layar Tancap, Maskara dan Rantai. Penerbitan terutama berbahasa kebangsaan boleh dikira dengan jari; Sindiket Soljah, Sang Freud Press dan Republik Kutu.

Kini suasana berubah; penganjuran acara mulai tersebar ke luar Kuala Lumpur; Projek Rabak di Ipoh, JOHO di Johor Baru, Frinjan di Shah Alam, Buku Jalanan di lapan buah kota termasuk Sabah dan Sarawak dan banyak lagi yang tidak tersebut di sini. Penerbitan bersemangat "indie" sudah merambah pasar yang lebih besar tanpa perlu menjadi Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), malah beberapa judul dari penerbit Fixi yang dimiliki Amir Muhammad dan Lejen Press menjadi buku terlaris di beberapa kedai buku tempatan. Pementasan teater bersemangat "indie" pula jika kena cara boleh membuat keuntungan, sesuatu yang tidak pernah terfikir pada masa dulu.

Sebagai penggerak awal Frinjan yang aktif pasca-2008 dan bersama-sama membangun scene, apa yang terhasil sekarang sangat di luar dugaan dan harus disyukuri. Meskipun semakin besar, semangat "indie" hampir semua yang terlibat dilihat tetap utuh walaupun pendekatan mengalami penyesuaian dan strategi baru digunapakai. Apa yang saya maksud dengan semangat "indie" adalah obsesi untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik dan diingini tanpa campur tangan pihak-pihak yang bermentaliti untung rugi. Walau tidak dinafikan faktor wang sangat penting untuk kesinambungan, ada beza yang jelas antara kepentingan wang untuk mengisi perjuangan dan kepentingan wang untuk mengeksploitasi dan kemudian hilang apabila tidak menguntungkan.

Persoalan sekarang bagaimana untuk mengurus scene "indie" yang sedang rancak ini supaya tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan tanpa sedar oleh beberapa scene yang akhirnya sekadar menjadi tren seperti berbasikal fixie. Sudah lumrah sesuatu scene akan mengalami pasang surut, namun biarlah ia berlaku dengan meninggalkan isi dan jejak supaya suatu saat akan didokumentasi dan dijadikan kajian akademik. Lebih cemerlang jika debat intelektual muncul darinya. Maka, keperluan untuk mengurus sangat penting supaya daya tahan akan lebih lama dan tidak terjebak dengan sensasi luaran tetapi miskin dalaman. 

Menurut saya, salah satu mekanisme kawalan yang boleh dilakukan adalah dengan tidak bersifat eksklusif, dalam erti kata lain hanya untuk kawan-kawan yang disukai. Sudah menjadi tabiat scene selalunya tidak ramah terhadap kawan-kawan yang belum dikenali, apatah lagi kawan-kawan yang tidak disukai. Meski tidak dinafikan sokongan kawan-kawan yang disukai amat penting, namun dengan berjiwa kecil acapkali mematikan apa yang kita mulakan dengan kadar segera.

Lalu bagi saya, kerjasama atau koloborasi dengan pihak-pihak lain terutama yang berbeza baik ideologi, bahasa, metode dan lain-lain amat penting supaya pengembangan dapat berjalan. Jangan dikeranakan kelompok berseberangan berideologi kanan atau berbahasa elit kita menjarakkan diri. Malang jika memilih untuk menolak diversiti dan pluralisme dalam berkesenian kerana yang akan lahir adalah minda tertutup. 

Terakhir, jangan sesekali menganggap gerakan "indie" kita paling benar dan cool sehingga lahir pandangan mereka yang memilih jalur berbeza sebagai kampungan, mat rempit, tidak urban dan sebagainya. Mengaitkan sesuatu gerakan untuk sekadar dilihat berbeza dan kelihatan cool adalah pembodohan yang wajib dilawan. Mengatakan jika hadir ke Pekan Frinjan sebagai contoh adalah aksi cool dan ke Jom Heboh sebagai tidak cool adalah dosa besar dan buah paku keras yang akan membunuh gerakan. Sebuah gerakan harus berusaha untuk merakyat, merata dan mempersatu bukan sebaliknya membezakan darjat dan memecah belah atas faktor luaran. Andai perbezaan terlahir atas faktor dalaman atau isi dan pertandingan idea itu barangkali masih boleh diterima. Lebih keji perbezaan dan perpecahan dilahirkan kerana merebut sang lelaki atau sang wanita.

Introspeksi atau melihat semula wajar dilakukan dari masa ke semasa supaya scene indie akan terus bersinar secara semangat sampai bila-bila seperti contoh scene di Korea Selatan dan Indonesia. Arus perdana dan indie wujud untuk saling lengkap melengkapi dan kita semua bertanggungjawab untuk merayakannya dan mengurus keduanya supaya lambat laun pengisian yang berbicara bukannya wang ringgit dan kepalsuan semata.

* The views expressed here are the personal opinion of the columnist.

Here comes the sun

Posted: 14 Sep 2012 06:08 PM PDT

SEPT 15 — There will always be loads of great bands that end up unjustly overlooked in this world. Sometimes it's plain bad luck and mismanagement, sometimes it's just coming into being at the wrong time, and sometimes it can even be a simple case of being unjustly ignored even when you have all the right ingredients already in place.

In the world of power pop, this is overwhelmingly the norm as almost every single great power pop band that has come into being so far in the history of rock 'n' roll has been pushed away far into the margins of history.

Only one power pop band defied that rule; Big Star, a band that made three blindingly great records in the 1970s that barely shifted any copies, only to become cult heroes in the age of alternative and indie rock as their sonic template became the sonic touchstone for so many of the bands of today. It resulted in the almost improbable release of a CD box set containing all three albums and all sorts of rarities and oddities they managed to record in their short lifespan.

I'm setting out this fact not because I'm saying that the band that I'm about to mention next is as great as Big Star, but to merely illustrate how wrong people can be during a band's lifetime. About two weeks back, on August 29 and 30, an indie pop band from the Philippines calling themselves The Camerawalls made a two-night stop in Kuala Lumpur to play at No Black Tie, one of KL's premier jazz venues.

I had made a note of this low-key show around one or two months in advance as I've been an ardent admirer of the band since the last two years or so, when I first heard them after they released a smashing EP called "Bread & Circuses." In fact, I've actually been in contact with the band after I first heard that EP online so I could write about them in a local online music website in the hope of introducing their brilliance to KL's more discerning listening public.

Happening just a few weeks after the Raya holidays and also during the lead-up to National Day eve, I anticipated (or probably more just hoping) a decent enough turnout for one of the Philippines' leading indie pop bands making their "live" debut here in KL. The reality was quite otherwise on the first day of the show on August 29 as there were very few of the usual faces I see at gigs around town who turned up for the show.

Maybe I set my hopes up a wee bit too high, but this is an indie pop band we're talking about here and even in hipster circles there have always been room for good indie pop bands, especially those channelling the spirit of classic '80s indie pop like The Smiths and Morrissey.

Those who did turn up undoubtedly left with "wowed" expressions on their faces as The Camerawalls, who played two sets that night, showed some really amazing understanding of what makes indie pop and jangle pop tick. Their originals, especially with songs from their EP like "My Life's Arithmetic Means" and "Birthday Wishes" (this one won the grand prize at the international John Lennon Songwriting Competition — yes it's that good), are no doubt true highlights of their sets.

But what's even more amazing to my ears are their quite impressive Beatles covers. I've always thought that their debut album has probably a bit too much The Smiths in it, which was something their follow-up EP corrected by suddenly displaying a real flair for Beatlesque jangle pop, so the Beatles covers are definitely expected. 

What I didn't expect was how so many of the covers are George Harrison songs, delivered so winningly that I found myself getting goosebumps on more than one occasion, especially on their cover of "Something" and the jingle-jangle magic of "Here Comes The Sun".

I've always avoided doing cover songs in my band's "live" sets because I've always thought of myself as too simplistic and punk rock of a musician to truly pull off covers and do it justice in my own way. And covering The Beatles is a sure-shot way of giving people a ready-made stick to beat you with should you mess up. So it takes quite some balls for the boys of The Camerawalls to decide to do so, and it takes quite some talent to pull it off as spectacularly as they did that night.

Maybe too few people knew of them enough to actually attend the show and witness for themselves how special this little Filipino band is, which is a crying shame. But the boys are planning another stop here in the future, so let's hope more people will find out about them by then.

* The views expressed here are the personal opinion of the columnist.

Kredit: http://www.themalaysianinsider.com

0 ulasan:

Catat Ulasan

 

Malaysia Insider Online

Copyright 2010 All Rights Reserved