Rabu, 5 September 2012

The Malaysian Insider :: Opinion


Klik GAMBAR Dibawah Untuk Lebih Info
Sumber Asal Berita :-

The Malaysian Insider :: Opinion


Bali beza

Posted: 04 Sep 2012 04:46 PM PDT

5 SEPT ― Berawal dari perbualan dengan rakan kongsi di Bali, Termana merangkap pemandu kereta semasa membawa pelancong Malaysia mengelilingi Pulau Bali, maka lahirlah idea tentang "Bali Beza". Melihat kondisi Bali yang semakin kelam, penzahiran idea yang sudah lama tercetus di benak pemikiran kami berdua ini tidak boleh ditangguh.

Oleh kerana kami terlibat dalam dunia pelancongan, "Bali Beza" adalah konsep yang dicipta kami untuk "menjual" Bali pertama, secara perniagaan dan kedua, secara pengetahuan. Oleh kerana sudah lama kami bebelkan tentang permasalahan yang dihadapi Bali, maka konsep pertama kami mulai dengan menubuhkan "Alt-ourism Asia Bali", sebuah ejen pelancongan alternatif yang berakar kepada pemberdayaan masyarakat Bali dan pencerahan kepada pelancong yang berkunjung.

Seterusnya konsep kedua ― membawa apa yang kami takrifkan sebagai Bali yang berbeza ke Malaysia dan syukur berkat bantuan komuniti Frinjan, penerbit buku Gerakbudaya dan beberapa individu lain, idea ini akan menjadi kenyataan 30 September nanti di Map @ Publika, Solaris Dutamas.

Sebetulnya, acara "Bali Beza" bukanlah kebenaran mutlak dalam erti Bali yang ada sekarang tidak mewakili Bali, beza yang dimaksudkan di sini bertujuan untuk memberikan sisi lain Bali yang jarang ditampilkan dalam risalah pelancongan dan media.

"Bali Beza" (juga beza di tempat lain) amat penting supaya pengetahuan kita tentang sesuatu tempat itu lebih objektif dan luas, bahkan pada saya pengetahuan tentang beza itu adalah ilmu asas. Berikut tiga program utama yang telah disusun.

Diskusi Bali beza

Secara sengaja, kami memilih tarikh 30 September untuk menayangkan filem "40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy" karya Robert Lemelson ― ahli antropologi lulusan Universiti California dan mendiskusikan buku berjudul "Melawan Lupa: Narasi-Narasi Komunitas Taman 65 Bali" ― sebuah kompilasi tulisan anak muda Bali yang terkena dampak tragedi.

Berbeza dengan filem dokumentari rasmi "Pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia" atau singkatannya "Pengkhianatan G-30S-PKI" yang semasa Presiden Soeharto berkuasa selalu ditayang setiap 30 September oleh seluruh stesen televisyen nasional, filem "40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy" menceritakan tragedi pembantaian itu dari empat sudut berbeza. Ke-empatnya berasal dari latar belakang keluarga yang berbeza dan salah satunya merupakan anak pemimpin parti pro PKI di Bali.

Robert Lemelson telah mewawancara ribuan orang yang terkena stigmatisasi dan intimidasi kerana dinilai terlibat gerakan komunism atau pro-kiri. Empat puluh tujuh tahun setelah tragedi, berbagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap keluarga dan saudara dari mereka yang dianggap terlibat gerakan komunis atau pro-kiri masih terus terjadi. Bahkan anak-anak berusia remaja yang sama sekali belum dilahirkan ketika tragedi terjadi, tetap harus memikul dampaknya.

Kondisi di Bali yang parah jelas dinyatakan dalam kata pengantar buku Melawan Lupa;

 "Peristiwa kekerasan politik di Bali 1965-1966 juga berdampak pada perubahan peta sosial dan intelektual di Bali. Sekali lagi, yang dibantai pada era tersebut tidak saja orang-orang yang dituduh berafiliasi dengan PKI, tetapi juga kaum-kaum intelektual publik yang menjadi sandaran bagi rakyat untuk memperjuangkan keadilan sosial. Praktis pasca 1965-1966, dinamika intelektual publik di Bali mengalami kemunduran, yang ada justru intelektual yang mengabdikan diri pada kekuasaan Orde Baru dengan menjadi komprador-komprador investasi pariwisata yang sedang dicanangkan pemerintah pusat. Organiser-organiser rakyat yang bekerja di akar umbi juga tidak luput dari pembantaian; selain itu, depolitisasi subak dilakukan sehingga subak tidak lagi menjadi organisasi yang memiliki sistem politik dan ekonomi yang mandiri dan menjadi basis gerakan rakyat tetapi dirubah menjadi kelompok petani yang semata-mata mengurusi pembagian air"

Sastera Bali beza

Menampilkan Frischa Aswarini (kiri), seorang penyair muda Bali yang menurut saya punya prestasi cemerlang di dalam bidang kesenian dan pemikiran. Dalam usia yang baru 21 tahun, beliau pernah menjadi pembaca puisi terbaik pada Poetry Slam Utan Kayu International Literary Biennale 2009 dan beberapa puisinya tersiar di media massa seperti Kompas, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Bali Post, dan Jurnal Sundih.

Apa yang saya kagumi tentang beliau adalah pemikirannya yang progresif terutama terkait isu-isu politik dan wanita dalam keadaan Bali yang dilanda konservatisme "Ajeg Bali" (Ketuanan Bali) yang tidak mencerahkan.

Sebenarnya agak menyedihkan melihat kondisi wanita Bali secara umum apatah lagi yang terlibat dalam dunia sastera. Mungkin terlalu awal menyimpulkan kerana saya masih belum mengetahui banyak tentang Bali dan wanitanya, namun persoalan seperti ini sering dipertanyakan di sana, "Bagaimana perempuan muda di Bali boleh belajar sastera, bukankah perempuan Bali hanya disibukkan dengan upacara keagamaan? Begitu juga fakta bahawa tatanan masyarakat Bali yang mengusung sistem patrilinear menghambat pertumbuhan budaya sastera wanita di Bali.

Konsert muzik Bali beza

Menampilkan Nosstress, 3 anak muda yang berbasis di Denpasar ― sebuah kota yang sentiasa hiruk pikuk seperti digambarkan dalam lagu "Hiruk Pikuk Denpasar" yang termuat dalam album pertama mereka, "Perspektif Bodoh".

Suara bising bukan asing lagi

Kepulan asap kendaraan menjejal pagi

Bangunan tampak berdiri di sana sini

Yang terlihat cuma fatamorgana sunyi


Orang-orang sudah enggan berjalan kaki

Matahari sudah bukan sahabat kita lagi

Sedikit mungkin yang berpikir tentang ini

Atau harus tunggu sampai api membakar kota ini


Hiruk pikuk Denpasar


Banyak sampah berserakan di jalanan

Kebersihan bukan cuma tugas truk berbedag hijau

Ayo ikut bersihkan sampahnya perlahan

Atau harus tunggu sampai mereka menimbun kota kita


Hiruk pikuk denpasar

Nosstress membawa nafas segar kepada dunia muzik Bali yang sentiasa tenggelam dalam hiruk pikuk dunia pelancongan yang menjanjikan anak-anak muda Bali jalan pintas menuju stabil dengan bekerja sebagai pelayan di atas kapal pesiaran.

Nosstress menyampaikan kritik sosialnya dengan bersahaja, pop serta santai dan berjaya menghindari retorika tanpa aksi yang sering dibawa band-band yang ingin kelihatan dekat dengan isu-isu kekinian seperti "green" dan lain-lain. Mungkin kerana itu Nosstress diminati anak-anak remaja, kelompok sasar untuk perubahan yang penting tetapi sering diabaikan lantas dikuasai muzik-muzik yang layu lagi melayukan.

Teman di Bali, Gde Putra menulis, "Sebagian besar tema-tema lagu Nosstress mewakili hal itu (kritik sosial dan motivasi diri), sangat positive dan penuh semangat untuk tetap berjuang menghadapi hidup. Seperti dalam reff lagu Tak Pernah Terlambat dalam album ini "Tak pernah terlambat jika kau ingin berubah, hanya dirimulah yang menghambat segalanya" atau dalam lagu Bersama Kita "Semua cerita dalam setiap hidup takkan selamanya indah, takkan selamanya buruk, coba selalu hadapi", lirik-lirik ini ibaratnya pemandu sorak kepada manusia yang berjuang untuk survive di saat ketidakpedulian antar sesama semakin terasa".

Semoga dengan tampilan Bali yang berbeza, khalayak di Malaysia dapat menghargai Bali dengan lebih baik dan turut bersama-sama bersolidariti mewujudkan Bali dan bumi kita yang mampu dan layak dihuni generasi mendatang.

"Malaysia Beza" juga dalam perancangan untuk dibawa ke Bali tahun hadapan memandangkan masih banyak masyarakat berpendidikan di sana yang terjebak dengan nasionalisme pembodohan dan malas membaca.

* The views expressed here are the personal opinion of the columnist.

Getting it done, and done right

Posted: 04 Sep 2012 04:42 PM PDT

SEPT 5 ― I was not brought up with a silver spoon.

My siblings and I went to public schools, did not carry handphones, laptops, Gameboys or any other fancy gadgets to school ― simply because we didn't have them.

Be that as it may, we had fun growing up. The sense of family and the importance of values were inculcated in us from young. I was always reminded of other less fortunate individuals around me, and how I should be thankful and count my blessings.

Even though my mother was a senior teacher then, my siblings and I never received special attention in school. We earned everything through hard work and merit, whether it was scholarships, textbook assistance, a place in boarding school, etc.

I was brought up to believe that we reap only what we sow, and not to take what I don't deserve.

I attended an event last week, and beside me was a hotelier. He drives a new E200 Mercedez Benz, is married to a successful entrepreneur wife and has a son studying in England. We chatted for a while before he started talking about his daughter who got a government scholarship to study medicine in the UK.

I spaced out after that.

Yes, most of us have all received assistance from the government in some way or other... whether it is politically motivated or not. But financial assistance for education, health, and yes even fuel should go to those who deserve and need it. This is not a private initiative, mind you, but a publicly funded one. To think my hard-earned tax money goes to paying for her education nauseated me.

I suppose the government feels that we have enough schools in Sabah, Sarawak staffed with quality teachers who speak impeccable English, Malay and classrooms that are filled with quality textbooks that do not resemble a nasi lemak wrapper, before deciding that it is morally and ethically right to fund someone who is rich, using taxpayers' money.

And yet they are at a loss as to where they have gone wrong, and why the rakyat is angry with them.

Yes, public scholarships must be awarded based on merit but only to those who need financial assistance. The recipient's financial background should come first before academic excellence and qualifications when vetting their eligibility for scholarships regardless of skin colour.

While the rich can often find more than one way to fund their ventures, the poor are lucky to even find one.

The whole process of awarding scholarships must be made transparent. From the process of selecting candidates, to how the scholarships are awarded, the whole evaluation process must come under public scrutiny just like how they award A's in public examinations.

This is public money, mind you, and we should have an independent body overseeing this whole process. Something is definitely wrong with the system when the rich receive financial assistance for education but the poor have to fork out money, and pay interest on student loans. Same goes for big, flashy cars guzzling down RON95 petrol meant for the poor. Why isn't the government addressing this?

Everything is "tidak apa" with them. It would seem that as long as they have Petronas to bail them out, they will continue spending time, money on issues that are beyond our comprehension. For instance, the theme for this year's Merdeka celebration, and not too long ago, our excursion to outer space.

Do they realise that education and scholarships are bread-and-butter issues that affect the whole nation? They should be formulating policies to churn out more intelligent students from schools, so that we can have more astronauts instead of graduates who are not even fit for employment by industry standards.

Our resources are finite and will eventually run out if this wastage continues. Building and transforming our resources into human capital should not be at the expense of the poor.

Yes, I choose Malaysia and with that also responsibility.

* The views expressed here are the personal opinion of the columnist.

Kredit: http://www.themalaysianinsider.com

0 ulasan:

Catat Ulasan

 

Malaysia Insider Online

Copyright 2010 All Rights Reserved