Jumaat, 16 November 2012

The Malaysian Insider :: Opinion


Klik GAMBAR Dibawah Untuk Lebih Info
Sumber Asal Berita :-

The Malaysian Insider :: Opinion


Paradoks perkauman di mamak

Posted: 15 Nov 2012 04:04 PM PST

16 NOV — Hidup di kota besar seperti Kuala Lumpur dan bandar-bandar sekeliling yang membentuk wilayah Lembah Klang pasti tidak akan terlepas dari pemandangan restoran India Muslim (lebih dikenali sebagai mamak) yang bertebaran. Di mana pusat perniagaan dibina, di situ jua mamak akan wujud untuk menyediakan ruang makan, minum dan melepak hingga puas. 

Makanan mamak yang sinonim dengan Pulau Pinang kini berevolusi menjadi institusi di luar daerah kelahiran yang memasyhurkannya. Mamak yang keluar dari kepompong beradaptasi dengan lingkungan barunya dengan menambahkan menu-menu yang bukan tradisi seperti hidangan tom yam dan sebagainya. Saya masih ingat sewaktu masih bersekolah (sekitar 90an) mamak sangat jarang dijumpai dan jika ada imejnya dikaitkan dengan kekotoran.

Entah bagaimana perlahan-lahan mamak berubah menjadi bersih walau masih banyak yang kotor dan sentiasa memenuhi permintaan pelanggan dengan kemudahan-kemudahan seperti internet percuma, televisyen yang banyak dan bermacam lagi. Layanan pantas dan kerusi meja yang tersedia banyak semakin mendorong masyarakat berbilang bangsa melepakkan diri meski kadangkala rasa makanannya di bawah standar.

Satu hal pasti budaya mamak yang telah menjadi budaya nasional ini menjadi alternatif paling sesuai dengan kebudayaan majoriti warga Malaysia yang beragama Islam. Melepak hingga larut pagi yang sering diidentifikasikan dengan minum arak, berpesta dan sebagainya di negara lain diberi makna yang berbeza di sini.

Beralih dari sisi positifnya, restoran mamak menyerlahkan sisi negatif masyarakat kita yang terpecah belah mengikut bangsa dan juga bahasa percakapan. Meskipun kemajmukan Malaysia dapat dilihat di mamak, namun sangat menyedihkan tiada interaksi bermakna di kalangan bangsa yang berbeza. Jika di satu meja terdiri dari pelbagai bangsa, seringkali pandangan-pandangan yang terlihat hairan akan kelihatan.

Paradoks "kemajmukan" di mamak yang sangat menghiris adalah kebiasaan untuk mengutuk bangsa lain walaupun jarak meja di antara satu sama lain tidak terlalu jauh. Perkauman di meja makan yang sering dipraktikkan di rumah keluarga dipindahkan ke meja makan mamak. Restoran mamak berubah menjadi wahana penyebaran kebencian dan prejudis ala Malaysia iaitu secara aman tanpa pergaduhan dan pertumpahan darah.

Namun begitu, kita tidak boleh memaksakan bangsa-bangsa yang berbeza untuk duduk semeja semata-mata ingin dilihat 1 Malaysia. Mungkin mereka yang memilih untuk berada di dalam kepompong ada alasan tersendiri seperti keselesaan berada dengan rakan sebangsa atau berbicara dalam bahasa yang dimengerti. Mungkin juga keadaan ini diakibatkan oleh dasar perkauman yang diterapkan kerajaan yang pro-Melayu Bumiputera dan kemudian diikuti oleh sektor swasta yang umumnya pro-Cina.

Kembali ke positifnya, restoran mamak turut menjadi medan melawan apa yang negatif tadi. Sejak reformasi tercetus pada bulan September 1998, boleh dikatakan perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan seperti praktik perkauman dimulai di mamak. Mamak adalah medan bertempur idea sebelum bertempur dengan sang penguasa dan sang perkauman.

Perlahan-lahan pasca-2008 dan pasca-Bersih 2.0 mamak berubah menjadi medan penyatu masyarakat berbilang bangsa untuk bangkit melawan meski masih jauh dari kemenangan dalam erti kata menumbangkan rejim perkauman Umno dan Barisan Nasional. 

Tetapi harus diperingat, andai rejim Umno BN berjaya ditumpaskan perlawanan melawan perkauman tidak akan perlahan melainkan harus lebih intensif. Perkauman bukan saja mendarah daging di dalam Umno BN tetapi juga Pakatan Rakyat dan rakyat seluruhnya. Bahkan boleh dikatakan prejudis dan kebencian adalah prasyarat menjadi warga Malaysia.

Tumbangnya Umno BN adalah langkah awal pembersihan elemen perkauman di sektor awam dan tugas seterusnya adalah pembersihan elemen perkauman di bidang ekonomi dan sektor swasta yang turut mendarah daging tetapi didiamkan dari dibicarakan tanpa diketahui alasannya. 

Membasmi perkauman akan mengambil masa, cepat atau lama bergantung kepada sejauh mana kita mengakui dan berusaha melawannya. Pada masa sama jangan pula menindas dan memandang hina pelayan-pelayan di restoran mamak kerana tanpa mereka yang sehari-hari dieksploitasi tenaganya, mamak seperti konsep yang ada sekarang tidak akan wujud.

* The views expressed here are the personal opinion of the columnist.

Back in my day …

Posted: 15 Nov 2012 03:45 PM PST

NOV 16 — Just a few weeks ago, I was listening to a couple of my friends have a conversation about their children and the younger generation in general.

Apparently, it is now a disgrace that kids are so familiar with touchscreen tablets and that the world is going to head into oblivion.

"Just the other day my daughter went up to the television and started swiping the screen," friend A said.

"I know what you mean. I have never seen my niece hold a book to read. All she does is carry an iPad around," friend B said.

"What is wrong with the kids these days?"

"Yeah! What is this world coming to?"

I just sat down next to them not wanting to interfere in their intense conversation about the state of our youth and the world's future.

This for me is as irritating as listening to elderly people say that in their time, they had to walk for miles to get to school and they studied at night by kerosene lamp.

So does that mean now that we have improved our lives that our kids still need to walk for miles to get to school?

And is it so wrong now that our kids study under an energy-saving, heat-reduction LED lamp that uses electricity?

Does it somehow affect the lessons and education that is received by our kids these days just because they don't have to walk to school or suffocate on fossil fuel fumes?

So if a kid today reads an e-book on an iPad, does it make the content he or she receives any different than if it was a paperback book?

My daughter Athena is not yet two years old and she already knows how to touch a thumbnail on the YouTube app on my iPad to launch her favourite Sesame Street videos.

But she sings and dances to the same tunes that I used to sing and dance to when I was around her age way before the existence of iPads and iPhones.

Cookie Monster singing "C is for cookie and it's good enough for me!" sounds exactly the same on an iPad as it did on my parents' old cathode ray tube television set in 1980.

The only thing that is different between Athena and me are who our favourite Sesame Street characters are. Her two favourites are Elmo and Cookie Monster.

I have to strongly object as I think the two best Sesame Street characters are Grover and Oscar the Grouch.

As far as I am concerned, technology should be embraced. It would be ridiculous to not allow our children to experience something just because we didn't when we were younger.

Just because your generation carried a slate chalkboard to school to do exercises in class doesn't mean that it should still be the way today.

And knowing how to swipe a tablet does not indicate a decay in our society. It just means that those who are complaining about it are old!

* The views expressed here are the personal opinion of the columnist.

Kredit: http://www.themalaysianinsider.com

0 ulasan:

Catat Ulasan

 

Malaysia Insider Online

Copyright 2010 All Rights Reserved