Jumaat, 21 Disember 2012

The Malaysian Insider :: Opinion


Klik GAMBAR Dibawah Untuk Lebih Info
Sumber Asal Berita :-

The Malaysian Insider :: Opinion


Have fun in Jerusalem!

Posted: 20 Dec 2012 04:02 PM PST

DEC 21 — I'm very religious in my own opinion. However, there are many people — some I know and even those I don't — who might not agree.

But these are the same people who send me anonymous e-mails praying that my daughter grows up practising beastiality.

I'm sure they are all very religious and have paid their downpayment for a nice condo in heaven for after the rapture.

But that's not what I want to write about today. No. What I want to write about is much more important.

I would like to congratulate my Malaysian Christian brothers and sisters over our government's decision to relax the rules and regulations to visit the holy land in Israel.

It's a good move by the government as it shows that it is sensitive to the needs of the people and is willing to overlook certain political issues.

But this makes me slightly bitter. Don't get me wrong. I'm not calling for the new regulations for Christians to be revoked. I am sincerely happy for them.

And as most people are very much aware, most of these Christian holy sites in the holy land are also Muslim holy sites. We are brothers and sisters after all.

So let me tell you why I'm bitter. Let me ask you this. Why am I, and all the other Malaysian Muslims, not allowed to visit them?

As a Muslim, I have made it a point to study and observe my own religion. And part of that is to travel and see for myself the cradle of where my religion was "born".

I have been to Mount Nebo in Jordan where Nabi Musa was shown the Promised Land by God. I looked out over the cliffs and saw the view he had seen.

I have been to the banks of the River Jordan where Nabi Yahya baptised Nabi Isa right by the border with Israel.

I have swum in the Dead Sea, which used to be Nabi Lut's home, before God decided to punish them for their sins.

I have prayed at the Umayyad Mosque in Syria where Nabi Muhammad's children and grandchildren were killed in the Battle of Karbala.

In Egypt, I have looked into the hollow eyes of Ramsses II who battled Nabi Musa trying to convince him he was god.

Every single experience I had left me in awe and made me even more curious and interested in Islam.

I didn't feel like aligning myself with the oppressive Assad regime when I was in Syria.

I didn't pledge to destroy democracy and join the knights of King Heshemite in Jordan.

And neither did I chant for the return of Hosni Mubarak and throw rocks at his opposition in Egypt's Tahrir Square.

So I really wish to be able to visit Jerusalem which was the first kiblat for Muslims to pray towards before the Kaabah in Mecca.

How thrilling it would be if I could enter the Al-Aqsa Mosque or Baitulmaqdis (Dome of the Rock), where Nabi Muhammad ascended to heaven.

I would love to visit Mount Zion and pay my respects at the Tomb of David, or the burial ground of Nabi Daud, the great king of Israel.

So, government of Malaysia, don't insult Malaysian Muslims by doubting our intelligence and faith.

We can differentiate between the Zionist movement and the everyday Jews in Israel.

We are also confident enough in our faith in Islam that we won't be swayed just because we are in Yahudi territory.

I'm not asking for Malaysia to suddenly have diplomatic ties with Israel. We still need to put pressure on them.

I'm not naive and I do understand the pressure of politics. But I say, we can put that all aside when it comes to religion and spirituality.

We are all same. David and Daud is the same. Moses and Musa is the same. John and Yahya is the same. Jesus and Isa is the same.

I want to have the right to visit the holy sites. But in the meantime, I have a request for my Malaysian Christian brothers and sisters.

Don't forget to send me a postcard when you are there. Sign off with "Wish you were here!" just to rub it in.

* The views expressed here are the personal opinion of the columnist.

Indonesia: Tanah Surga… Katanya

Posted: 20 Dec 2012 03:47 PM PST

21 DIS — Bukan lautan hanya kolam susu... katanya 

Tapi kata kakekku (datuk) hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu

Kail dan jala cukup menghidupimu... katanya 

Tapi kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara

Tiada badai tiada topan kau temui... katanya  

Ikan dan udang menghampiri dirimu... katanya

Tapi kata kakek, awas ada udang di balik batu

Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman... katanya 

Tapi kata dokter Intel, belum semua rakyatnya sejahtera banyak pejabat yang menjual kayu & batu untuk membangun surganya sendiri

Puisi di atas dibacakan Salman dalam filem "Tanah Surga... Katanya" dalam rangka menyambut orang atasan melawat sekolah di sebuah kampung terpencil di Kalimantan Barat yang bersempadan dengan Malaysia. Bacaan puisi Salman, pelajar pintar di kampung itu langsung membuat orang atasan tersebut tidak senang duduk. Filem ini diarah oleh Herwin Novianto dan diproduseri Deddy Mizwar yang terkenal dengan filem satira politik, "Kentut dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini)".

Puisi ini terinspirasi dari lirik lagu "Kolam Susu" dendangan Koes Plus yang memuja kesuburan tanah di Indonesia. Namun di lapangan faktanya tidak demikian, Indonesia sebagai negara pertanian yang subur dan makmur jauh dari kolam susunya sehingga import tepung singkong (ubi kayu) yang digunakan untuk industri kertas, tekstil dan makanan minuman mengalami lonjakan pada tahun ini.

Lebih memilukan, sepanjang tiga tahun Indonesia dibawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kabinet Indonesia Bersatu II-nya, Indonesia terpaksa mengimport lima komoditi utama nasional iaitu beras, jagung, kacang soya, gula dan daging lembu. Sesuatu yang tidak terbayangkan selama ini mengingat banyak kalangan di Malaysia menjadikan Indonesia sebagai salah satu model negara yang mandiri dalam ketersediaan makanan selain Thailand.

Sudah tentu banyak faktor menyumbang seperti pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, namun di luar itu lajunya alih fungsi penggunaan lahan pertanian seperti yang terjadi di Bali sangat memprihatinkan. Sawah-sawah padi di pulau surga ini perlahan-lahan bertukar menjadi sawah villa dan hotel. Tentunya pemilik baru iaitu kaum pemodal tidak akan berfikir tentang kesan jangka panjang, apatah lagi angkat bicara tentang kemiskinan struktural petani. 

Becik, warga Bali dalam suratnya kepada akhbar Bali Post mengutip pandangan seorang peneliti: "Indonesia merupakan satu-satunya negara yang berani menukar lahan pertanian ke bukan pertanian baik untuk perumahan atau pembukaan bandar baru".

Tanah neraka

Bagi sebahagian warga korban kekerasan dan penindasan, Indonesia adalah tanah neraka. Situasi kebebasan beragama di Indonesia cenderung memburuk enam tahun terakhir. Pada 2007 terdapat 135 peristiwa, 2008 ada 265 peristiwa, 2009 ada 200 peristiwa, 2010 ada 216 peristiwa dan 2011 ada 244 peristiwa.

Berdasarkan laporan "Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012" oleh Setara Institute, peristiwa dan tindakan yang menganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia semakin memburuk pada 2012. Sepanjang 2012, tercatat 264 pelanggaran kebebasan beragama dengan 371 bentuk tindakan terutama di Jawa Barat, Jawa Timur, Aceh, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Sebanyak 145 (39 peratus) tindakan melibatkan polis, pemerintah setempat dan Kementerian Agama dan sisanya oleh warga sendiri.

Nasib sama turut dilanda kaum pekerja di Indonesia. Sehingga Ogos 2012, jumlah rakyat Indonesia yang bekerja berjumlah 110.8 juta orang dan sebanyak 7.2 juta orang menganggur. Dari 110.8 juta, sebanyak 44.2 juta orang (39.86 peratus) bekerja di sektor formal dan 66.6 juta orang (60.14 peratus) di sektor informal.

Data ini menunjukkan bahawa sebahagian besar pekerja di Indonesia bekerja tanpa jaminan kesihatan, hari tua, jaminan kemalangan di tempat kerja dan jaminan untuk tetap bekerja di dalam jangka panjang. Tidak hairan apabila gerakan pekerja semakin keras dalam menuntut kenaikan gaji minimum dan penghapusan outsourcing.  

Tanah surga akhirnya?

Di kala Eropah dan Amerika Syarikat dilanda krisis kewangan dan China serta India mengalami penurunan, ekonomi Indonesia tumbuh dengan pesat. Tahun 2013 pertumbuhan ekonomi disasarkan 6.8 peratus, satu angka wajar melihat pertumbuhan beberapa tahun terakhir di atas 6 peratus.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi didorong oleh faktor demografi di mana data Bank Dunia menunjukkan 55 peratus penduduknya tergolong dalam kelompok kelas menengah. Kenaikan jumlah kelompok kelas menengah dengan belanja US$2-20 sehari dari 81 juta orang pada 2003 menjadi 134 juta orang tahun 2011 sangat luar biasa dan kesannya boleh dilihat jika kita berjalan di Orchard Road di Singapura dan Bukit Bintang di Kuala Lumpur.

Maka tidak menghairankan apabila bos AirAsia, Tony Fernandes berpindah ke Jakarta membuka pejabat AirAsia ASEAN sebagai langkah awal meraih rezeki di tanah surga. Bahkan baru-baru ini (18/12) Tony menulis di laman Facebook beliau: "Highest load factor for AirAsia today. Since we started this airline. 94 per cent. And our new domestic routes in Indonesia making great progress. We making good profits in Indonesia." Magnet tanah surga ini turut menarik konglomerat besar Malaysia seperti CIMB, Maybank, Axiata, Parkson (Centro) dan perusahaan kecil seperti Bangi Kopitiam dan Roti Boy.

Namun kelas menengah yang bertambah belum memberi impak besar kepada ekonomi kerana masih sekadar kelas menengah konsumptif, jauh dari kelas menengah pencipta seperti di Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Mencipta bangsa Indonesia yang berbudaya pencipta wajib diberi keutamaan oleh pemerintah melihat melimpah ruahnya bakat-bakat kreatif Indonesia di mana-mana. 

Indonesia mempunyai harapan cerah menjadi kuasa ekonomi dunia jika negara diurus dengan benar. Melihat kualiti kerja mahasiswa Malaysia di UiTM dan mahasiswa Indonesia di Limkokwing saja sudah memperlihatkan jurang kreativiti yang terwujud. Tinggal lagi Indonesia harus kuat dan tidak putus asa melawan para koruptor yang seenaknya menjadikan Indonesia surga mereka.

* Ini adalah pandangan peribadi penulis.

Kredit: http://www.themalaysianinsider.com

0 ulasan:

Catat Ulasan

 

Malaysia Insider Online

Copyright 2010 All Rights Reserved